BAB II TINJAUAN TEORI
C.Pengertian
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae yang berasal dari membran mukosa hidung dari nasofaring, kulit, dan lesi lain dari orang yang terinfeksi.
Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernapasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudomembran (Ngastiyah, 2005).
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae (Rampengan, 1993).
Difteri adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil gram positif (WHO).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun (Detik Health).
Difteri adalah suatu infeksi yang akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik corynebacterium diphteriae (Medicas).
D. Etiologi
Disebabkan oleh corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Sifat basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ÂșC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air susu, dan lendir yang telah menngering.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut. Basil dapat membentuk :
1.Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
2.Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah bebrapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick. Patogenesis
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah.
E.Patofisiologis
Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital.
Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas.
F. Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.
G.Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
1.Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
2.Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3.Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1.Difteria hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terdapai (hanya 2%). Mula-mula hanya tam-pak pilek, tetapi kemudian sekret yang ke luar tercampur darah sedikit yang ber-asal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai fa¬ring dan laring. Perderita diabati seperti penderita difteria lainnya.
2.Difteri faring dan tonsil
3.Gejalanya radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
4.Difteri laring
5.Gejalanya tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
6.Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
7.Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
H.Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ lainnya:
1.Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
2.Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
3.Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
4.Kerusakan ginjal (nefritis)
I.Penularan
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas.Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.
J.Pencegahan
1.Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.
2.Pencegahan terhadap kontak
3.Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
4. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.
K.Pengobatan
Mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi Corynebacterium diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
1.U m u m ;
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit yang adekuat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
2.Khusus :
a.Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
b.Antimikrobial
Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik
d. Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel.
e. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar